Rabu, 08 April 2009

Pemilu…oh Pemilu…..

Akhirnya pemilu hanya menanti hitungan jam, cukup lama waktu yang dilakukan para peserta pemilu untuk melakukan kegiatan kampanyenya. Berbagai macam kegiatan dilakukan untuk menarik massa. Berbagai macam cara ditempuh untuk menarik simpati masyarakat. Beberapa partai melakukannya dengan saling menyerang partai lawan, melakukan kritikan terhadap setiap kegiatan partai lawan. Beberapa partai lain menarik simpati dengan melakukan berbagai macam acara, dan sebagian besar adalah acara hiburan. Di awal kampanye, hampir seluruh partai melakukan kesepakatan untuk tidak melakukan politik uang (money politics), namun praktik di lapangan, hampir setiap kegiatan kampanye selalu menggunakan uang untuk menarik simpati massa. Hal ini saya dengar sendiri ketika berbincang-bincang dengan seorang warga di sebuah warung di daerah jogja selatan. Pada hari sebelumnya dia mengikuti kegiatan kampanye sebuah partai pemerintah untuk mendapatkan uang senilai Rp 20.000. dilihat dari jumlah nominal mungkin bukan jumlah yang besar bagi kita, tapi bagi mereka, uang tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Sungguh ironis jika akhirnya suara mereka terbeli dengan nominal sekecil itu. Karena satu hari esok akan menentukan jalan yang harus dijalani oleh bangsa ini 5 tahun ke depan.



Mungkin selama ini kitapun telah terbuai oleh janji-janji politik yang mereka teriakan. Yang pada intinya hampir sama, yaitu keberpihakan terhadap rakyat miskin. Namun yang ditunjukkan oleh para simpatisan mereka sungguh sangat bertolak belakang. Kampanye dengan menggunakan iring-iringan kendaraan bermotor sungguh dirasa sangat mengganggu. Selain suara yang dihasilkan (karena sebagian besar menggunakan motor blombongan) sangat berisik, mereka juga memakan hampir seluruh badan jalan dan memaksa pengendara lain dari arah berlawanan untuk berhenti dan menepi( bahkan dengan mengacungkan-acungkan tongkat). Saya pribadi mengalami 3 kali perjalanan yang terganggu akibat adanya iring-iringan tersebut. Bahkan dalam sebuah harian lokal diberitakan, bahwa seorang satgas berkepala plontos dari sebuah partai besar berlogo banteng, membentak seorang tua pengendara sepeda yang hendak menyeberang bahkan dengan sombongnya berteriak “Minggir!!! Wong siji arep ngalahke wong akeh?”. Ini membuktikan bahwa apa yang mereka teriakkan untuk membuai masyarakat hanyalah janji-janji semata, karena belum terpilihpun mereka tidak berpihak pada rakyat, apalagi jika terpilih?? Mungkin mereka tidak akan peduli lagi dengan urusan rakyat. Dan semoga kita tidak memilih partai tersebut.



Kembali ke pemilu yang tinggal besok, semoga kita semua bisa memilih wakil-wakil yang benar-benar berpihak pada rakyat, walaupun saya sendiri “terpaksa” GOLPUT dan dengan segala kekisruhan yang ada pada DPT saya mengajak untuk GOLPUT. Karena di RT saya ada 19 orang yang memliki hak pilih namun tidak terdaftar dan ada 38 nama pemilih ganda. Bayangkan bila itu terjadi di seluruh Indonesia. Maka “HIDUP GOLPUT”, buat MUI, apakah golput itu haram? Lalu bila golput haram, apa hukumnya buat orang yang membuat orang lain “terpaksa” golput? Hehehe….



Semoga setiap pilihan kita bisa membawa perubahan untuk Indonesia



UNTUK INDONESIA YANG LEBIH BAIK

Kamis, 05 Februari 2009

KALAH OTAK OTOT BERTINDAK

Beberapa waktu lalu, saya melakukan perjalanan ke daerah jawa timur. Perjalanan yang dilakukan selama 4 hari ini dalam rangka acara ekskursi besar geologi (semacam kuliah lapangan). Yah walaupun rangkaian acara kuliah namun kegiatannya berimbang antara kuliah dengan wisata, dan waktu yang dihabiskan lebih banyak di dalam BUS karena kami selalu moving.

Kegiatan yang awalnya berjalan nyaman(?) itu agak terganggu pada hari ketiga. Tepatnya saat itu hari Jumat tanggal 30 Januari pukul 5 sore waktu setempat. Saat itu rombongan sedang melaju menuju sebuah hotel di daerah bojonegoro, perjalanan dari lokasi bencana lumpur Sidoarjo. Di tengah perjalanan rombongan terpaksa menepi karena adanya rombongan pendukung sebuah tim sepakbola daerah setempat. Dengan seragam kebesaran mereka yang berwarna oranye mereka mengacung-acungkan tongkat yang mereka bawa. Dengan gaya anarkis rombongan yang terdiri dari sebagian anak muda tersebut memaksa kendaraan yang melaju dari arah berlawanan untuk berhenti, tidak terkecuali bus yang kami tumpangi. Tidak sedikit dari mereka yang memukul-mukulkan tongkatnya pada bus kami, hal tersebut tentu saja cukup membuat cemas seisi bus terutama rekan-rekan saya yang perempuan. Bahkan beberapa orang dari tombongan mereka yang menggunakan truk mengarahkan telapak kaki mereka pada jendela bus, yang menurut saya itu sangat tidak sopan.

Itu hanyalah salah satu contoh dari anarkisme bangsa ini. Telah sering kita saksikan beberapa pertandingan sepakbola di negeri ini yang berakhir dengan kerusuhan para supporternya. Belum berselang 1 minggu, terjadi lagi sebuah contoh anarkisme demokrasi. Beberapa hari ini media-media, baik lokal cetak maupun elektronik, memberitakan suatu tragedi berdarah. Terbunuhnya Ketua DPRD Sumatera Utara. Rakyat setempat yang mengharapkan terbentuknya propinsi Tapanuli Utara berunjuk rasa saat para wakil mereka di DPRD melakukan pembahasan dalam rapat paripurna. Palu belum diketok sebagai tanda selesainya sidang, mereka telah bersikap anarkis, mencoba masuk ruang rapat dan menyandera beberapa anggota DPRD. Dan dengan tekanan penuh dari para demostran, akhirnya para wakil rakyat memutuskan untuk menyetujui pembentukan Propinsi tersebut.

Demokrasi?? TIDAK, karena rapat hanya dihadiri oleh beberapa orang dan itupun dalam kondisi penuh tekanan. Namun kejadian terus berlanjut. Para demonstran kemudian mencari sang ketua dan mengeroyoknya hingga menyebabkan sang ketua meninggal.

Sungguh tragis, menyedihkan, memalukan dan mengecewakan. telah mati sebuah bangsa yang, orang bilang, ramah tamah. Bangsa ini ternyata lebih suka menggunakan ototnya daripada otaknya. Makanya tidak heran bila ada sebuah joke yang berbunyi bahawa otak orang Indonesia harganya sangat mahal, karena masih orisinil (tidak pernah dipakai).

Pantaskah kita berbuat seperti itu? Apakah kita telah cukup memiliki prestasi yang membanggakan sehingga kita berhak meyombongkan diri? Seperti dalam contoh pertandingan sepakbola. Sudah adakah prestasi yang kita miliki, atau ini hanyalah sebuah apresiasi dari fanatisme berlebihan?

Sebagai sebuah bangsa yang kaya seharusnya kita bisa berlapang dada dan bersikap arif dalam menghadapi sesuatu. Menang-kalah dalam suatu pertandingan adalah suatu hal yang lumrah karena tidak mungkin semua peserta pertandingan mendapatkan kemenangan.

Semoga kejadian-kejadian tersebut tidak terulang kembali. Dan mari, saatnya kini kita gunakan otak kita untuk membangun Indonesia yang lebih baik

Senin, 26 Januari 2009

selamat datang di OTAKKU

selamat datang di otak-otak kobis. ini adalah sebuah ruang untuk belajar tanpa batas, di sini saya akan menuangkan seluruh isi yang ada di kepala saya untuk berbagi pengetahuan, baik itu tentang komputer, software maupun kritik-kritik social. walaupun saya akan memberi berbagai macam tutorial, tapi saya mungkin bukanlah seorang ahli dan saya juga masih banyak belajar, namun cara belajar paling baik adalah bila kita berdiskusi dengan orang lain. dan akhirnya "WELCOME TO OTAK-OTAK KOBIS BLOG"