Kamis, 05 Februari 2009

KALAH OTAK OTOT BERTINDAK

Beberapa waktu lalu, saya melakukan perjalanan ke daerah jawa timur. Perjalanan yang dilakukan selama 4 hari ini dalam rangka acara ekskursi besar geologi (semacam kuliah lapangan). Yah walaupun rangkaian acara kuliah namun kegiatannya berimbang antara kuliah dengan wisata, dan waktu yang dihabiskan lebih banyak di dalam BUS karena kami selalu moving.

Kegiatan yang awalnya berjalan nyaman(?) itu agak terganggu pada hari ketiga. Tepatnya saat itu hari Jumat tanggal 30 Januari pukul 5 sore waktu setempat. Saat itu rombongan sedang melaju menuju sebuah hotel di daerah bojonegoro, perjalanan dari lokasi bencana lumpur Sidoarjo. Di tengah perjalanan rombongan terpaksa menepi karena adanya rombongan pendukung sebuah tim sepakbola daerah setempat. Dengan seragam kebesaran mereka yang berwarna oranye mereka mengacung-acungkan tongkat yang mereka bawa. Dengan gaya anarkis rombongan yang terdiri dari sebagian anak muda tersebut memaksa kendaraan yang melaju dari arah berlawanan untuk berhenti, tidak terkecuali bus yang kami tumpangi. Tidak sedikit dari mereka yang memukul-mukulkan tongkatnya pada bus kami, hal tersebut tentu saja cukup membuat cemas seisi bus terutama rekan-rekan saya yang perempuan. Bahkan beberapa orang dari tombongan mereka yang menggunakan truk mengarahkan telapak kaki mereka pada jendela bus, yang menurut saya itu sangat tidak sopan.

Itu hanyalah salah satu contoh dari anarkisme bangsa ini. Telah sering kita saksikan beberapa pertandingan sepakbola di negeri ini yang berakhir dengan kerusuhan para supporternya. Belum berselang 1 minggu, terjadi lagi sebuah contoh anarkisme demokrasi. Beberapa hari ini media-media, baik lokal cetak maupun elektronik, memberitakan suatu tragedi berdarah. Terbunuhnya Ketua DPRD Sumatera Utara. Rakyat setempat yang mengharapkan terbentuknya propinsi Tapanuli Utara berunjuk rasa saat para wakil mereka di DPRD melakukan pembahasan dalam rapat paripurna. Palu belum diketok sebagai tanda selesainya sidang, mereka telah bersikap anarkis, mencoba masuk ruang rapat dan menyandera beberapa anggota DPRD. Dan dengan tekanan penuh dari para demostran, akhirnya para wakil rakyat memutuskan untuk menyetujui pembentukan Propinsi tersebut.

Demokrasi?? TIDAK, karena rapat hanya dihadiri oleh beberapa orang dan itupun dalam kondisi penuh tekanan. Namun kejadian terus berlanjut. Para demonstran kemudian mencari sang ketua dan mengeroyoknya hingga menyebabkan sang ketua meninggal.

Sungguh tragis, menyedihkan, memalukan dan mengecewakan. telah mati sebuah bangsa yang, orang bilang, ramah tamah. Bangsa ini ternyata lebih suka menggunakan ototnya daripada otaknya. Makanya tidak heran bila ada sebuah joke yang berbunyi bahawa otak orang Indonesia harganya sangat mahal, karena masih orisinil (tidak pernah dipakai).

Pantaskah kita berbuat seperti itu? Apakah kita telah cukup memiliki prestasi yang membanggakan sehingga kita berhak meyombongkan diri? Seperti dalam contoh pertandingan sepakbola. Sudah adakah prestasi yang kita miliki, atau ini hanyalah sebuah apresiasi dari fanatisme berlebihan?

Sebagai sebuah bangsa yang kaya seharusnya kita bisa berlapang dada dan bersikap arif dalam menghadapi sesuatu. Menang-kalah dalam suatu pertandingan adalah suatu hal yang lumrah karena tidak mungkin semua peserta pertandingan mendapatkan kemenangan.

Semoga kejadian-kejadian tersebut tidak terulang kembali. Dan mari, saatnya kini kita gunakan otak kita untuk membangun Indonesia yang lebih baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar